Rabu, 21 September 2011

Sastrawan yang Jago Kaligrafi

(dimuat serambi Indonesia, 16 Agustus 2011)

DALAM dunia sastra di Aceh, nama Mahdi Idris mulai dikenal sejak akhir tahun 2009. Sejak saat itu, cerita pendek (Cerpen) karya Mahdi mulai dimuat di sejumlah media di Aceh. Pria kelahiran Desa Keureutoe, Kecamatan Lapang, Aceh Utara, 3 Mei 1979 itu saat ini menjadi pengajar di Dayah Terpadu Ruhul Islam, Tanah Luas, Aceh Utara. Sejak tahun 2003, pria berkumis itu mengasuh mata pelajaran kaligrafi, bahasa Arab, dan sejumlah kitab kuning di dayah tersebut. Ketika remaja, Mahdi menimba ilmu di sejumlah dayah seperti Dayah Al Muslimun Lhoksukon, Dayah Nurul Huda Trieng Pantang Lhoksukon, Dayah Nurul Yaqin Al Aziziyah Utu Kabupaten Pidie, dan Dayah Raudhatul Ulum Alue Pisang, Aceh Barat Daya. Mahdi menyelesaikan pendidikan strata satu di Perguruan Tinggi Islam (PTI) Jamiatut Tarbiyah Lhoksukon tahun 2010.

“Saya hanya ingin berbagi pengalaman dengan anak-anak di dayah ini. Apa yang saya ketahui, itu yang saya sampaikan kepada santri. Saya ingin mereka bisa lebih hebat dari saya,” sebut Ustaz Mahdi,panggilan akrab Mahdi Idris. Mahdi mengajarkan teknik penulisan cerpen dan kaligrafi secara serius di dayah tersebut. Hasilnya, dia pun diundang Kementerian Pendidikan Nasional sebagai peserta dalam acara Apresiasi Sastra Daerah (Apresda) di Bogor, Oktober 2010.         
Mahdi telah menerbitkan buku kumpulan cerpennya, yaitu ‘Lelaki Bermata Kabut,’ diterbitkan PT Cipta Media, Jakarta, 2011, dan Nurhayat, Mata I Publishing, Banda Aceh, 2011. Selain itu, cerpennya juga dimuat dalam buku antologi Kerdam Cinta Palestina, dan Munajat Sesayat Doa. Novel perdana ayah tiga anak itu dengan judul Menembus Kabut, masuk sepuluh besar naskah terbaik dalam lomba yang dilakukan Penerbit Media Yogyakarta. Dayah Ruhul Islam beruntung memiliki pengajar sekelas Ustaz Mahdi. 5 Mei 2011, dayah itu pun memberikan penghargaan untuk Ustaz Mahdi dalam kategori guru berprestasi.      

Sementara, kemampuan Mahdi Idris dibidang kaligrafi juga tak perlu dikhawatirkan lagi. Sebagai bukti, Dia selalu diundang menjadi dewan juri kaligrafi pada Musbaqah Tilawatil Quran (MTQ) di Aceh Utara. * masriadi sambo 

Dunia Berkabut Aceh

Oleh: Teuku Kemal Fasya
Koran Jakarta, 30 Juli 2011.

Judul                     : Lelaki Bermata Kabut.
Penulis                  : Mahdi Idris.
Penerbit                : Cipta Media, Jakarta.
Cetakan I             : Februari 2011.
Tebal                    : 126 hal.
ISBN                   : 978-608-95476-4-1.
Harga                   : Rp. 35.000,-

Dalam perspektif  Claude Levi-Strauss, seorang filsuf bahasa dan juga antropolog, manusia berpikir tentang dunia (the world) cenderung dalam posisi biner: tinggi–rendah, ke dalam-ke luar, kebaikan-keburukan, dll. Itulah yang kemudian diekspresikan dalam kata-kata (words). Dunia secara pejal ditentukan oleh bahasa (world is determined by language). Tak ada dunia di luar kata-kata.
Ketika manusia tidak bisa menentukan posisi biner dengan baik, ia akan melarungkan penilaian melalui mitos dalam ekspresi bahasanya. Mitologi merajam bahasa yang cenderung ekstrem di dua kutub, membuatnya terhubung dan hadir sebagai keberantaraan (in-between-ness).
Inilah yang tergambar dalam kumpulan cerpen Lelaki Bermata Kabut yang ditulis oleh Mahdi Idris, seorang guru pesantren di pedalaman Aceh Utara. Ia menggunakan sastra, untuk “mengajar” santri-santrinya dalam memahami dunia yang lebih luas daripada kitab kuning. Seperti diketahui, dunia pesantren cenderung hidup dalam kesimpulan biner : halal-haram.
Ia menggunakan mitos harian dalam mengungkapkan problem riil masyarakat yang tak mudah dinilai hitam-putih. Ada banyak hal yang tergelung di antara dua sifat. Dalam agama diistilahkan “dunia yang berkabut” (muthasyabihat). Mitos-mitos ini terbentang dalam narasi dan mencapit “kematian-kematian kecil” ( la petite mort) : tentang kejahatan, rasa malu, dosa yang terpilin-pilin, nafsu serakah, kedengkian, dll.
Dalam cerpen Yang Malang misalnya, ia gambarkan sosok Salim. Karena miskin dan desakan istri akhirnya mulai berfantasi untuk menambah penghasilan melalui cara “alternatif”, padahal keterampilannya hanya kuli bangunan.  Salim terpegun oleh kontradiksi kehidupan. Orang-orang mudah membangun mall dan villa, namun baginya, untuk mendapatkan lauk enak dalam sehari pun susah. Itulah yang membuatnya jahat dan mengajak temannya Amin, untuk merampok rumah seorang kaya di kampungnya.
“Rumah Haji Maddan kita kuras. Biar dia tahu diri, jangan sombong jadi orang kaya. Buktinya, dia tidak pernah bayar zakat. Kita harus menggeledah rumahnya, karena di dalam hartanya ada hak orang miskin seperti kita. Sumpah kita tak berdosa mencurinya”
Dalam cerpen lain, Laki-laki Itu, digambarkan situasi malang seorang guru yang menanduk telunjuknya bermenit-menit pada papan pengumuman calon pegawai negeri sipil (CPNS). Ketika urutan nama yang lulus selesai, tak ditemukan namanya. Lelaki ini hanya melanjutkan kepasrahan yang biasa dialami setiap hasil pengumuman. Dideskripsikan sosok lelaki itu sebagai seorang guru honor sekolah swasta yang telah delapan tahun mengabdi. Setiap tahun ia mengikuti tes dan tidak pernah lulus.
Sosok yang dinarasikan dengan “Aku” itu kemudian menerawang pandangannya pada lingkungan sekitar. Ia merasa iri pada penglihatannya: para pegawai yang setiap hari riang masuk kantor, dengan pakaian seragam dan sepatu rapi, sementara nasibnya hanya sebagai pengajar dan penunggu harapan lulus PNS. Menjadi PNS adalah langkah menggenapkan kesempurnaan hidup. Mulai terhuyung masalah di angannya, bagaimana jika ketiga buah hatinya yang masih kecil saat ini tumbuh besar. Bagaimana ia mampu menyekolahkan jika tak ada jaminan PNS. Menjadi guru honor baginya tidak akan cukup membiayai keluarga.setelah saya telusuri, cerita dalam cerpen itu adalah gambaran hidup sang penulisnya sendiri.
Jika ada kritik atas karya-karya Mahdi adalah kecenderungan untuk menyelesaikan cerita dengan penuh pesan moral dan serba positif. Ini tipikal penulis bertema religi, dimana tidak berani membiarkan ada ironi dan kontradiksi tergeletak dalam cerita. Padahal kehadiran sastra bukan untuk memberi kesimpulan atas dunia, tapi menunda dan membuka masalah baru untuk dipahami oleh pembaca.  
Seperti ungkapan Roland Barthes, filsuf semiotika Perancis, biarkan pembaca hidup di atas teks sang pengarang, sehingga tak perlu rewel menjelaskan maksudnya seterang-terangnya.*
Teuku Kemal Fasya, kurator karya sastra Aceh.

Mitos dan Kearifan Lokal dalam Karya Mahdi

Mitos dan Kearifan Lokal dalam Karya Mahdi
Oleh: Arafat Nur
(Dimuat di Harian Aceh, Minggu 26 Juni 2011)
Judul            : Lelaki Bermata Kabut
Penulis          : Mahdi Idris
Penerbit        : Cipta Media
Cetakan        : I, Februari 2011
Tebal            : 126 halaman
Harga           : RP. 35.000
ISBN            : 978-602-95476-4-1

Sejauh ini masih sedikit sekali dari penulis Aceh (mungkin juga di daerah lainnya) yang mengangkat perihal mitos dan kearifan lokal, apalagi mereka yang sungguh-sungguh memilih berkutat di wilayah ini. Hanya mereka yang benar-benar memerhatikan tradisi dan hidup bersentuhan atau berkecimpung dengan ritual-ritual dan kemistikan ini saja yang sanggup dengan baik menyuguhkannya ke tengah khalayak.
Wilayah mitos dan kedaerahan sesungguhnya banyak menyimpan nilai-nilai, ada yang dianggap perlu dipertahankan, ada pula yang dianggap tidak sesuai karena perbuatan semacam itu dipandang lebih banyak merugikan dan sia-sia, bahkan dianggap bertentangan dengan syariat agama (Islam); sebagaimana ritul-ritual menyangkut kemistisan yang masih mengandung ajaran animisme.
Namun ada juga yang tidak bertentangan dengan agama, tetapi dirasakan oleh penulis sangat merugikan, bahkan akan mempengaruhi pikiran penduduk untuk tidak bisa berkembang. Persoalan semacam inilah yang sering diketengahkan, diangkat oleh penulis yang peduli dan menyukai hal-hal yang sering terjadi di perkampungan, dan biasanya penulis ini memang tinggal di tengah-tengah masyarakat yang demikian.
Sebagaimana sikap Mahdi Idris, seorang penulis cerita pendek Aceh, dia amat memerhatikan setiap “kedipan mata” penduduk di sekelilingnya, yang kemudian diangkat dalam 18 cerita yang terkumpul dalam bunga rampai Lelaki Bermata Kabut. Kalau dipandang di segi estetika, memang tidak terlalu menjanjikan, terutama perihal cara bercerita yang masih terasa datar dan biasa-biasa saja.
Kelemahan semacam ini sedikit banyaknya memang berhasil ditutupi dengan tema unik, jangankan orang kota, orang kampung pun masih tidak tahu dan menganggapnya asing. Dari sinilah daya pikat yang sanggup menahan pembaca untuk membaca beberapa cerpen dalam buku ini sampai khatam.
Mahdi Idris yang lahir di Desa Keureutou, Kecamatan Lapang, Kabupaten Aceh Utara, 3 Mei 1979 ini dikenal seorang pengajar di Pesantren Terpadu Ruhul Islam dan SMA Negeri 1 Matangkuli. Seorang penulis cerpen yang tidak umum, yaitu guru bahasa Inggris, bahasa Arab, Kaligrafi, dan juga mengajar kitab kuning di Pesantrennya. Buku Lelaki Bermata Kabut (Cipta Media, Februari 2011) setebal 126 halaman ini adalah karya tunggalnya, yang sebagian pernah dimuat di berbagai media massa Aceh dan Medan. Sebelumnya, cerpennya juga sering terpilih di tingkat nasional dan mendapat undangan dari Kementrian Pendidikan Nasional di Jakarta.
Dia merupakan Sarjana Syariah Jurusan Muamalah pada STIS Jamiatut Tarbiyah Lhksukon Aceh Utara, mulai menulis sejak bergabung dengan Forum Lingkar Pena (FLP) Lhokseumawe pada awal 2009 lalu, dan di sini pula bakatnya semkain berkembang serta namanya terus dikenal secara luas, terutama di Kecamatan Tanah Luas.
Selain cerpen, dia juga menulis puisi, resensi, esai sastra, dan juga sedang menyelesaikan beberapa novel. Selain itu,  juga termuat dalam antologi Kerdam Cinta Palestina (Folipenol Publising, 2010) bersama anggota FLP se-Sumatera dan antologi puisi Munajat Sesayat Doa (Leutika Prio, 2011) bersama para pemenang lomba puisi Forum Tinta Dakwah  FLP Riau. Kumpulan cerpen lainnya Nurhayat akan segera terbit. Sekarang Mahdi menetap di Pesantren Terpadu Ruhul Islam Tanah Luas, Kab. Aceh Utara. Dia menjadi motivator bagi guru-guru dan santri di tempatnya mengajar, karenanya pula dia dianugerahi sebagai guru paling menonjol dalam memotivasi siswa dan santri.